Posted by : Unknown Rabu, 09 Oktober 2013

BANGUNAN beratap seng itu terletak tak jauh dari sebuah warung di Pantai Babah Dua, Lampuuk, Aceh Besar. Di bawah bangunan beratap seng itu terdapat dua bak berukuran 1,5 x 3 meter. Sejak 2011 lalu, warga Lampuuk telah menjadikan tempat ini sebagai salah satu tempat penangkaran penyu. Tempat itu dibangun Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Besar tahun lalu.

Dua bulan lalu, bak-bak itu menampung ratusan tukik yang ditangkar penduduk. Kamis pekan lalu, bak kosong tanpa tukik. Pengelola tempat itu, Zainun, mengatakan semua tukik telah dilepas ke laut pada Juni lalu.


Zainun yang akrab disapa Ngoh Non ini aktif menjadi penangkar penyu sejak 2011. Dulunya Ngoh Non pencari telur penyu untuk dijual dan juga dikonsumsi. “Walau terlambat, ini lebih baik daripada tidak sama sekali,” ujarnya saat bercerita tentang penangkaran hewan langka itu, pertengahan Agustus lalu.


Di tempat itu, Ngoh Non dan beberapa warga lainnya menangkar Penyu Lekang (Lepidochelys Olivacea) dan Penyu Belimbing (Dermochelys Coriacea). Jenis terakhir ini merupakan penyu terbesar di dunia. Namun keduanya sama-sama terancam punah.


Upaya konservasi yang dilakukan Ngoh Non kini telah membuahkan hasil. Menjelang Ramadan lalu, beberapa temannya menemukan dua inang penyu yang bertelur di Pantai Babah Dua sampai menetaskan telur secara alami. Di lubang besar tempat penyu mengeram, terdapat sekitar 500 tukik yang menetas.


Hal itu, kata Ngoh Non, menjadi bukti penyu telah menganggap Babah Dua sebagai tempat aman untuk menetaskan telur. Padahal, kata Ngoh Non, Juni bukanlah musim penyu naik ke darat. “Biasanya penyu naik bulan September sampai April,” ujarnya.


***


LANGKAH pelestarian yang dilakukan Ngon Non di tepi Babah Dua merupakan salah satu usaha melindungi satwa langka di Aceh yang berada di ambang kepunahan. Selain penyu, Aceh juga memiliki burung Murai Batu (Copychus Malabaricus), yang rentan perburuan. Murai Batu kini mulai langka di daratan Sumatera. Bahkan di Simeulue, kasus perburuan burung ini menjadi ancaman serius.


Awal Februari 2013, aparat Kepolisian Resor Simeulue menggagalkan penyeludupan sekitar 300 ekor Murai Batu dari Simeulue ke daratan Sumatera. Setelah itu, pada Maret 2013, polisi kembali menyita 300 Murai yang akan diseludupkan lewat kapal feri ke Labuhan Haji, Aceh Selatan.


Catatan ATJEHPOSTcom, sepanjang 2013 saja tak kurang tujuh kali polisi membongkar kasus penyeludupan Murai. Namun, Kepala Kepolisian Resor Simeulue AKPB Supriadi mengatakan hingga kini belum ada pelaku penangkapan dan penyeludupan yang dibawa ke pengadilan. “Setelah ditangkap, burung dilepas ke habitat sedangkan pelaku diberi peringatan dan dilepas juga,” ujarnya kepada ATJEHPOSTcom, Kamis, 22 Agustus 2013.


Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Simeulue Ibnu Abbas mengatakan, selain Murai, burung Beo juga terancam punah. Beo kini populasinya tinggal 20 persen, sedangkan Murai tinggal 30 hingga 40 persen. Kedua jenis burung ini berkembang biak di seluruh kawasan Simeulue.


Tingginya ancaman kepunahan, kata Ibnu, karena dua burung ini sering diburu untuk diperjualbelikan. “Banyak juga yang dibawa ke luar daerah untuk cenderamata atau hadiah kepada seseorang,” ujar Ibnu Abbas.


Sejak Januari hingga Juni 2013, kata dia, tercatat 1.294 ekor Murai berhasil ditangkap sebelum diselundupkan. Sedangkan untuk Beo, belum ditemukan adanya penyeludupan hingga saat ini.


Ibnu mengatakan, kini belum ada persamaan persepsi para pemangku kepentingan di Simeulue. Bahkan, ada anggota dewan meminta dibiarkan saja jika ada masyarakat menangkap Murai dan Beo karena itu sumber rezeki. “Kalau mau dibiarkan saja, hapuskan saja itu qanun,” ujar Ibnu Abbas. Pemerintah Kabupaten Simeulue sudah melarang penangkapan dan penjualan kedua burung itu dengan mengeluarkan Qanun Kabupaten Simeulue Nomor 10 Tahun 2005.


Dari sisi ekonomis, harga jual kedua burung itu memang tinggi. Seekor Beo dibanderol Rp1 juta, sedangkan Murai Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per ekor. Ini baru harga lokal. Belum lagi, kata Ibnu, jika burung bisa diseludupkan ke daratan, harganya bakal melonjak. Karena harga tinggi itulah, warga Simeulue memburu Beo dan Murai.


Perburuan secara masif itu kini menampakkan efeknya. “Hanya keberuntungan saja kita bisa melihat dan mendengar suara burung Beo. Mereka sudah jarang terlihat meskipun ada itu di tengah hutan,” ujar Agusri, warga GampĂ´ng Sebbe, Simeulue Tengah.


***


BUKAN hanya satwa kecil terancam perburuan. Binatang langka seperti gajah pun kena sasaran. Minggu, 14 Juli 2013, publik dikejutkan dengan ditemukannya bangkai gajah Sumatera di kawasan sungai, Desa Rantau Sabon, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya. Gajah itu bernama Papa Genk. Mukthar, Kepala Ranger di Conservation Response Unit Sampoiniet mengatakan, Papa Genk terkena perangkap. Dia menduga gajah sengaja dibunuh untuk diambil gading.


Awal Agustus 2013, pembunuh Papa Genk terungkap. Puluhan warga Ranto Sabon mengaku membunuh gajah itu. Didampingi Bupati Aceh Jaya Azhar Abdurrahman mereka mendatangi Kepolisian Resor Aceh Jaya menyerahkan gading Papa Genk.


Kepala Polres Aceh Jaya AKBP Galih Suyodo waktu itu mengatakan telah memeriksa tujuh warga sebagai pembunuh gajah. Tujuh orang itu mengakui bahwa pelaku sebenarnya berjumlah lebih dari 30 orang. Mereka, kata Galih, dinyatakan melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pelindungan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
Kepala Bidang Humas Polda Aceh Komisaris Besar Polisi Gustav Leo mengatakan polisi bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh untuk melindungi satwa di Aceh. Namun, kata dia, yang lebih berperan adalah Balai Konservasi.


Sampai kini, polisi masih terus menyelidiki kemungkinan adanya mafia perdagangan satwa atau gading gajah. Namun, kata Leo, polisi belum menemukan adanya mafia lintas provinsi atau lintas negara.


***


KEPALA Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh Amon Zamora justru menduga ada mafia yang bermain memperjualbelikan barang-barang dari satwa liar seperti gading gajah. Populasi gajah di Aceh kini sekitar 400 ekor. Populasi ini terbagi menjadi dua habitat di sepanjang pegunungan pantai utara timur dan Bukti Barisan di pantai barat-selatan Aceh.

Pembunuhan Papa Genk, kata dia, memungkinkan adanya mafia satwa liar di Aceh. Bahkan, kata Amon, dia pernah didatangi Interpol yang meminta informasi penjualan gading gajah dan kulit harimau. “Dari mulut ke mulut ada informasi atau praduga tentang keberadaan mafia ini. Namun persoalannya kita tidak bisa mengklaim, karena tidak ada bukti autentik, tidak tertangkap tangan.”

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments